Aqiqah Madinah – Prosesi penyembelihan hewan setelah kelahiran seorang bayi (aqiqah), memiliki ketentuan waktu yang dianjurkan menurut ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam sebuah hadis,
“Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Hewan aqiqah disembelih di hari ketujuh setelah kelahiran, si anak digundul, dan diberi nama.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani)
Menurut Ibnu Qudamah, ulama sepakat bahwa penyembelihan hewan aqiqah sebaiknya dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Ibnu Qudamah menyatakan,
“Para ulama madzhab Hambali mengatakan, yang sesuai sunah hewan aqiqah disembelih di hari ketujuh kami tidak mengetahui adanya perbedaan ulama yang manyatakan disyariatkannya aqiqah, bahwa hewan aqiqah dianjurkan untuk disembelih di hari ketujuh..” (al-Mughni, 9/364)
Namun, penentuan hari ketujuh pasca kelahiran bayi memunculkan perbedaan pendapat di antara ulama. Terdapat dua pandangan mengenai apakah hari kelahiran harus dihitung atau tidak.
- Hari Kelahiran Tidak Dihitung
Pendapat ini, yang diikuti oleh Malikiyah, menyatakan bahwa batas waktu subuh merupakan awal perhitungan. Sebagai contoh, jika bayi lahir pada hari Jumat pukul 5 pagi, perhitungan dimulai sejak hari Sabtu, sehingga aqiqah dilakukan pada Jumat berikutnya.
- Hari Kelahiran Dihitung
Ini adalah pandangan jumhur ulama. Menurut An-Nawawi, ulama Syafiiyah sebagian besar sepakat bahwa hari kelahiran harus dihitung dalam penentuan hari ketujuh pasca kelahiran. Oleh karena itu, aqiqah dapat dilakukan pada hari keenam setelah kelahiran atau pada hari ketujuh setelahnya.
Berdasarkan kaidah jumhur, dapat disimpulkan bahwa hari aqiqah adalah hari kelahiran dikurangi satu. Jadi, jika bayi lahir pada hari Selasa, aqiqah dilakukan pada hari Senin. Begitu pula jika bayi lahir pada hari Jumat, aqiqah dilakukan pada hari Kamis, dan seterusnya. Jika bayi lahir pada malam Sabtu, aqiqah dilakukan pada hari Jumat, karena yang dihitung adalah hari Sabtu.
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa jika bayi lahir pada hari Sabtu, aqiqah dilakukan pada hari Jumat, artinya sehari sebelum hari kelahiran (as-Syarh al-Mumthi’, 7/493).
Dalam kajian kaidah oleh Syaikh Muhammad al-Mukhtar as-Sinqithy, disebutkan bahwa bentuk idhafah (menyandarkan) mengharuskan hari kelahiran masuk dalam hitungan tujuh hari. Dengan demikian, jika seseorang menyebut hari ketujuh kelahiran, berarti hari kelahiran tersebut masuk dalam perhitungan tujuh hari itu (Syarh Zadul Mustaqni’).
Maka, penentuan hari ketujuh aqiqah dapat disesuaikan dengan pendapat ulama yang diikuti, baik dengan menghitung hari kelahiran atau tidak. Tetaplah memperhatikan niat tulus untuk menjalankan ibadah ini sesuai dengan petunjuk agama.
Wallahu’alam Bishawab…
Sumber gambar: Google
Penulis: Elis Parwati